Selasa, 30 Mei 2017

IPM Pendidikan Cianjur Terlupakan


Oleh : Nanang Rustandi
Artikel Ilmiah

Menelaah Islam Eksklusif dan Inklusif


)* Oleh : Nanang Rustandi

AKHIR-akhir ini wacana Kesyariahan dalam setiap aktifitas ummat Islam di Indonesia semakin terasa dan semakin berkembang. Entah karena pemahaman akan Keislaman yang semakin kuat atau memang karena ummat sudah faham dengan isi dan kandungan sesuai Syariat.
Semakin tinggi konstalasi perpolitikan di Indonesia, terutama jelang pelaksanan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibu (DKI) Kota Jakarta, hingga berimbas pada semangat rasa kebersamaan (ghirah) pada kaum muslim di Indonesia, terutama menyikapi kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta (non aktif) Basuki Cahaya Purnama (Ahok) dengan menafsirkan surat Al-Maidah ayat 51 tentang memilih seorang pemimpin menjadi pemicu umat Islam untuk menggelar aksi beberapa kali.
Maka dari kondisi itu penulis menelaah dari kacamata teologi dan sosiologi, bagaimana kondisi keberagamaan dalam memandang suatu masalah muncul akibat pengklaiman bahwa apa yang diucapkanya benar atau salah.
Kalau dikaji secara harfiah, Iksklusif berasal dari bahasa Inggris, "exlusive" yang berarti sendirian, dengan tidak disertai yang lain, terpisah dari yang lain, berdiri sendiri, semata-mata dan tidak ada sangkut pautnya dengan  yang lain. (John M. Echols dan Hasan Shadily, kamus Inggris-Indonesia, cet. VIII, hal.222). Secara umum eksklusif adalah sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan pikiran dan diri Islam sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip yang dianut agama lain salah, sesat dan harus dijauhi.
Tapi perspektif tentang batasan eksklusifisme itu sendiri perlu terlebih dahulu lebih diperjelas agar tidak salah menempatkan istilah. Sebab antara Islam sebagai konsep dan kondisi keberagamaan umat Islam yang plural sangat berbeda. Ketika menemukan fenomena yang menunjukkan adanya ekslusifisme dalam sebagian tubuh umat Islam, kita jangan sampai terjebak untuk memvonis bahwa konsep Islam memang eksklusif. Tapi harus dikembalikan kepada bagaimana metode pemahaman yang mereka terapkan.
Kelompok Islam Eksklusif  ini bersifat tertutup kaku, jumud, tidak terbuka dengan perkembangan mutakhir dan masih mempertahankan paham ortodoks. Masalah eksklusif dan inklusif merupakan kelanjutan dari pemikiran atau gagasan neo-modernisme kepada wilayah yang lebih spesifik setelah pluralisme.
Sedangkan Islam Inklusif adalah Islam yang bersifat terbuka. Terbuka tidak hanya masalah berdakwah atau hukum, tetapi juga masalah ketauhidan, sosial, tradisi, dan pendidikan. Hal ini disebabkan karena ada sebagian kelompok atau suku yang beranggapan bahwa semua agama itu benar.
Seorang Muslim diharapkan menyadari adanya nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang juga ditawarkan dan diajarkan agama lain. Seorang Muslim harus yakin bahwa agama yang dipeluknya adalah yang paling benar di seluruh alam raya, namun dalam keseharian ia tidak menunjukkan sikap “sok benar” atau “mau menang sendiri”. Hal ini terutama dalam konteks pergaulan sesama manusia yang dalam Islam dikenal sebagai “hablum minannas”.
Perwujudan komitmen “hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan” memang berat, terutama bagi mereka yang kurang memahami filosofi keberadaan syari’at bagi umat. Kalau hanya sekedar dalam ungkapan itu pasti sangat mudah, tetapi kalau dalam implementasi yang sesungguhnya itulah yang kemudian menjadi persoalan.
Dengan adanya Islam Inklusif tidak berarti semua ajaran dari agama lain dimasukkan ke dalam ajaran Islam, tetapi ini adalah jalan umat Islam untuk menuju suatu Agama yang di sebut sebagai Rahmatan lil ‘alamin.
Islam Inklusif muncul tanpa mengahapus nilai kebenaran atau nilai-nilai yang terkandung dalam agama lain. Islam inklusif juga menunjukkan bahwa tidak ada penyeragaman dan paksaan terhadap agama lain entah dari segi keyakinan ataupun cara beribadah mereka.
Islam Inklusif juga mengakui adanya toleransi mengenai budaya, adat, dan seni yang menjadi kebiasaan masyarakat dan pandangan Islam inklusif juga mengakui adanya pluralitas mampu meminimalisir adanya konflik antar umat.
Dengan adanya Islam Inklusif setidaknya kita mampu berbaur hidup rukun dan damai dengan umat agama lain. Sehingga perpecahan antar umat beragama mampu dihindari.
Maka penulis melihat jika sebutan Islam Eksklusif dan Inklusif memang ada dalam teori keberagamaan kita, seperti ungkapan bahwa hanya agama kita yang benar dan menilai agama orang lain salah, dan ada yang menilai jika teori semua ajaran agama-agama tujuanya benar. Maka jika Basuki Cahaya Purnama (Ahok) menilai inklusif maka dia seharusnya tidak usah memberikan penilain terhadap pandangan agama lain, karena pasti ajaran utamanya untuk mengajak kepada kebenaran.
Selain itu, jika seorang muslim mengetahui ada teori Islam Eklusif dan Inklusif maka akan bisa menemukan titik temu dengn cara diskusi antar pemeluk agama merupakan bentuk toleransi yang kini sudah di terima oleh masyarakat. Contohnya jika suatu daerah ingin menunjuk salah satu di antara mereka untuk jadi pemimpin, maka di butuhkan musyawarah agar keputusan tersebu diterima oleh semua pihak. Selain itu toleransi saling menghormati jika salah satu agama menjalankan puasa atau hari-hari besar.
Selain itu saling bertukar pikiran seperti ini sangat penting karena pemikiran setiap agama yang berbeda kemudian disatukan dalam sebuah diskusi, maka akan menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Tidak membanding-bandingkan kelebihan dan kekurangan antar agama.
Saling menghormati jika salah satu agama sedang beribadah. Dan masih manyak lagi toleransi-toleransi yang bisa diterapkan agar dapat hidup dengan damai walaupun berdampingan dengan orang yang berbeda keyakinan (agama). Wallahu a'lam bil murodi.

)* Penulis adalah Dosen dan Jurnalis, kini tengah mengikuti pendidikan Program S3 di UIN SGD Bandung  

Ekonomi Kerakyatan Mulai Terlupakan



)* Nanang Rustandi

GEBRAKAN ekonomi untuk mengatasi berbagai resesi digulirkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sejak dilantik jadi Presiden dan Wakil Presiden, 20 Oktober 2014.
Ironisnya sudah berbagai upaya dalam menangani berbagai krisis, salah satunya menekan melambungnya nilai tukar rupiah terhadap dollar mengharuskan Jokowi pontang panting mengeluarkan kebijakan yang diberi nama Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi-JK.
Nahas, 13 Paket Kebijakan Ekonomi ini hingga kini hanya isapan jempol semata. Tidak banyak yang bisa dirasakan oleh rakyat atas langkah kebijakan tersebut. Bahkan ingin disebut populis Jokowi juga mengeluarkan 203 deregulasi aturan dalam Paket Kebijakan Ekonomi pemerintah, yang hingga kini masih menyisakan sembilan peraturan yang belum diselesaikan.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution sempat mengatakan, saat ini progres penyelesaian beleid dari sebanyak 203 peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah diklaim sudah mencapai keberhasilan 96 persen. Peraturan tersebut di antaranya berupa Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) hingga Peraturan Menteri (Permen).(merdeka.com edisi 11 April 2016).
Adapun rincinan paket kebijakan ekonomi itu mulai dari Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I yang berisi kebijakan, mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha. Mempercepat proyek strategis nasional dengan menghilangkan berbagai hambatan, sumbatan dalam pelaksanaan dan penyelesaian proyek strategis nasional, serta meningkatkan investasi di sektor properti.
Selanjutnya Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II ada kemudahan layanan investasi 3 jam, pengurusan Tax Allowance dan Tax Holiday lebih cepat, pemerintah tak pungut PPN untuk alat transportasi, insentif fasilitas di kawasan pusat logistik berikat, dan insentif pengurangan pajak bunga deposito.
Lebih populis lagi pada Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III hingga 13 ada target perluasan penerima kredit usaha rakyat (KUR), kebijakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang lebih murah dan luas. Ada deregulasi di bidang perbankan syariah dan upaya menggerakkan perekonomian di wilayah pinggiran dengan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Hasil dari kebijakan ekonomi tersebut tidak satupun yang bisa dirasakan masyarakat kecil secara langsung. Selanjutnya stabilisasi pasokan dan harga daging sapi, peningkatan sektor logistik desa-kota, meningkatkan investasi dan melindungi UMKMK.
Padahal jika dilihat dari plat form politik pengusung Jokowi dari Partai Pemenang Pemilu 2014 yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selalu mengusung isu-isu ekonomi kerakyatan atau ekonomi yang peduli pada "Wong Cilik", buktinya bukan mereka yang bisa merasakan akan hasil langkah perbaikan ekonomi, malah para pemodal besar bahkan pihak asing yang ongkang-ongkang kaki menikmati semua hasil sumber daya alam Indonesia.
Jika kita melihat ekonomi kerakyatan sesuai harapan para "Bapak Bangsa (The Founding Father)' Indonesia sering disebut paradigma Ekonomi Pancasila, praktik-praktik Ekonomi Pancasila, implementasi sistem ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi Indonesia). Seperti dikenal ekonomi kerakyatan yakni pemberdayaan masyarakat ekonomi kecil Koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional.
Jika dilihat dari aturan ekonomi kerakyatan sudah tertuang dalam Undang Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) Nomor 1/1967 dan UU Koperasi Nomor 12/1967. Sejak orde baru gagasan ekonomi kerakyatan sempat muncul, meski saat itu ada pergulatan pemikiran yang terjadi antara kubu ekonomi kerakyatan yang antara lain dimotori oleh Sarbini Sumawinata, dengan kubu ekonomi neoliberal yang dimotori oleh Widjojo Nitisastro. Kubu ekonomi neoliberal muncul sebagai pemenang.
Perjalanan ekonomi kerakyatan juga muncul tahun 1974 Indonesia sempat diguncang oleh peristiwa Malari, perkembangan perekonomian Indonesia di tangan teknokrat neoliberal boleh dikatakan semakin sulit dibendung.
Para teknokrat neoliberal, dengan dukungan penuh dari Dana Moneter Intemasional (IMF), Bank Dunia, dan negara-negara kreditur yang tergabung daJam Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI), silih berganti memimpin perumusan kebijakan ekonomi Indonesia. Sasaran utama mereka adalah terpeliharanya stabilitas makro ekonomi dan tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya.
Untuk itu, instrumen utamanya adalah penggalangan modal asing, baik melalui pembuatan utang luar negeri maupun dengan mengundangnya masuknya. investasi asing langsung. Pada mulanya prestasi teknokrat neoliberal, yang sempat dikenal sebagai Mafia Berkeley itu, memang cukup mencengangkan. Terhitung sejak awal Pelita I (1969 -1973), inflasi berhasil dikendalikan di bawah dua digit. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berhasil dipacu dengan rata-rata 6,5 persen pertahun. Implikasinya, pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang pada 1969 masih sekitar USD 90, lahun 1982 berhasil ditingkatkan menjadi USD 520. Bahkan, di penghujung 1980-an, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan sempat dipuji oleh Bank Dunia. Menurut lembaga keuangan multilateral yang didirikan pada tahun 1944 tersebut, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang lainnya (World Bank, 1990), Tahun 1997, sebelum perekonomian Indonesia ambruk dilanda oleh krisis moneter, pendapatan perkapita penduduk Indonesia sudah berhasil ditingkatkan menjadi USD 1,020.
Dengan mengemukakan hal itu tentu tidak berarti bahwa perjalanan ekonomi neoliberal sepanjang era Orde Baru tidak berlangsung tanpa kritik. Salah satu kritik yang sering dialamatkan terhadap kebijakan ekonomi yang pro pertumbuhan dan modal asing itu adalah soal melebarnya jurang kesenjangan. Pertumbuhan ekonomi lndonesia yang cukup mengagumkan itu, ternyata tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan penduduk.
Kesenjangan pengeluaran antara 10 persen penduduk termiskin dengan 10 persen penduduk terkaya, meningkat dari 1 : 6,5 pada tahun 1970, meujadi 1 : 8,7 pada tahun 1995. Salah seorang pengritik kebijakan ekonomi neoliberal yang cukup terkemuka sepanjang tahun delapan puluhan adalah Mubyarto. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1979, Mubyarto dengan tajam mengritik kebijakan ekonomi Orde Baru yang dipandangnya sudah sangat jauh melenceng dari amanat konstitusi.
Sembari menggaris bawahi pentingnya pendekatan transdisipliner dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia, Mubyarto kembali memunculkan semangat ekonomi kerakyatan ke permukaan dengan label Ekonomi Pancasila. Namun demikian, sebagaimana Sarbini, kritik tajam Mubyarto hilang begitu saja seperti ditelan ombak. Bahkan, Mubyarto sendiri kemudian turut ditelan oleh ‘ombak’ Kabinet Pembangunan VI.
Jika dirunut dari sejarah soal ekonomi kerakyatan dan hasil dari program Paket Kebijakan Ekonominya pemerintahan Jokowi-JK memang masih belum bisa dirasakan menyentuh kebutuhan publik.
Maka Jokowi memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan setiap ucapan, keputusan dan tindakan yang ia lakukan sepanjang dua tahun masa pemerintahannya. Gaya kepimpinannya masih terus mempertahankan politik pencitraan dan festival selfie-rangkaian seremoni yang menunjukkan bahwa Presiden dan para pembantunya nampak bekerja namun padahal mereka hanya ingin meraih hati publik.
Iapun tidak berhasil menghubungkan agenda politiknya dengan semangat kesejahteraan rakyat yang harus diperkuat. Obsesi Jokowi atas kemegahan pembangunan, infrastruktur dan kedaulatan Indonesia nampaknya akan bertahan hingga tahun 2019. Bahkan kini di setiap tahunnya ia akan berusaha keras untuk memenangkan hati publik dengan cara-cara instan dan kilat. Maka tugas kita semua untuk terus menagih janji pemerintah yang kini kian disorot dari berbagai bidang, maka yang jadi pembeda pemerintahan hari ini dengan rezim otoritarian Orde Baru adalah mereka sama-sama tidak bisa mensejahterakan rakyatnya.
--------

)* Penulis adalah Dosen dan Jurnalis, kini tengah mengikuti pendidikan Program S3 di UIN SGD Bandung  

Makna 4 Tahun Bagi ‘Radar Cianjur’

)* Nanang Rustandi


USIA empat tahun kalau pada anak kecil baru bisa merangkak. Bisa dibilang juga baru seumuran jagung, tapi lebih dari jagung bisa saja masuk pada umur anak ayam yang baru bisa lari. Empat tahun jika dihitung rinci, 48 bulan, 192 minggu, 17.520 hari, jadi kalau menurut hitungan matematis empat bulan bukanlah waktu yang sebentar.
Tapi bukan soal hitungan bulan atau hari yang ingin diungkapkan penulis, tetapi waktu empat bulan merupakan waktu memberikan suguhan berbagai informasi berkualitas bagi pembaca setia warga Kabupaten Cianjur dan sekitarnya.
Berbicara waktu seorang Filsuf Islam Ibn Sina dalam kitabnya al-Syifa, membahasnya dalam empat pasal, yakni waktu adalah eksistensi (wujud), esensi (mahiyah), hakikat sekarang (al-an), dan keraguan dalam persoalan zaman. Jadi waktu adalah eksistensi dan esensi yang sekarang tengah berjalan, dan Radar Cianjur tengah mengisi eksistensi dan esensi dari waktu tersebut dengan menyuguhkan berbagai informasi menarik setiap hari.
Jika dirunut sejarah awal berdirinya PT. Cianjur Media Perdana (Radar Cianjur) yakni anak dari induk perusahaan surat kabar terbesar di wilayah Bogor yakni Harian Pagi Radar Bogor yang lahir pada tahun 1998. Penerbitan yang didirikan oleh Jawa Pos Group (Koran terbitan yang berpusat di Surabaya Jawa Timur) ini di Kota Bogor sendiri berkembang sangat pesat, sehingga keberadaanya mampu menjangkau Kabupaten Cianjur dan kota/kabupaten di sekitarnya.
Radar Bogor sendiri pada awal pendirianya lebih melirik Kota Sukabumi dan Kabupaten Sukabumi sebagai wilayah yang memiliki prosfek perkembangan koran lebih terbuka. Maka pada saat itu dibuat suplemen khusus halaman Radar Sukabumi yang beredar di wilayah Kota/Kabupaten Sukabumi.
Radar Bogor sendiri disebut juga sebagai Bapak Perusahaan yang membawahi kurang lebih 10 anak perusahaan terhitung sampai tahun 2016. Anak perusahaan tersebut diantaranya Radar Sukabumi, Radar Bandung, Radar Bekasi, Radar Karawang, Radar Depok, Sunda Urang, Metropolitan, dan Radar Cianjur.
Keberadaan Radar Sukabumi pun sebagai induk perusahaan Radar Cianjur pada awal pendirianya pernah mengalami vakum kurang lebih selama satu tahun, dan beredar kembali sekitar tahun 2003 dan masih menjadi koran sisipan yang hanya memuat berita Sukabumi 2 halaman.
Sekitar tahun 2007-2008 Radar Sukabumi menjadi mandiri, tidak lagi menjadi suplemen pada Koran Radar Bogor. Pada waktu itu Radar Sukabumi menerbitkan 2 - 6 halaman, 4 halaman berita Sukabumi dan 2 halaman Radar Cianjur.
Di tahun 2009 Radar Sukabumi berkembang dengan signifikan sehingga pada 2 Januari 2009 Radar Sukabumi diresmikan mandiri, bahkan satu tahun selanjutnya Radar Sukabumi secara administrasi sudah masuk ke manajemen Jawa Pos Group. Maka pada periode 2009-2013 penerbitan halaman berkembang menjadi 8 halaman dan tahun 2014 menjadi 16 halaman.
Posisi Radar Cianjur sendiri antara tahun 2009-2013 masuk pada halaman suplemen Radar Sukabumi yang awalnya hanya dua halaman dan selanjutnya sempat menjadi empat halaman dengan kedudukan sebagai kantor Biro Radar Cianjur. Pada periode ini keberadaan kantor biro posisinya pindah-pindah, sempat ngontrak di Kampung Warung Jambe Jalan Didi Prawirakusuma Cianjur, pindah ke Jalan Dr Muwardi (By Pass) yang sempat dua tahun bertahan di ruko milik Alm Haji Econ, setelah itu pindah ke Jalan Aria Cikondang Joglo dan kembali pindah lagi ke Jalan Raya Sukabumi tepatnya di Kampung Cikaret Cianjur yang sempat bertahan selama satu tahun.
Pada tahun 2012-2013 perusahaan induk Radar Bogor lewat CEO nya pa H Hazairin Sitepu, tepatnya pada tanggal 2 Februari 2013 akhirnya meresmikan Radar Cianjur mandiri dengan kantor di ruko Jalan KH Abdullah Bin Nuh No 4 (depan Gedung DPRD Cianjur) Desa Nagrak Cianjur yang berdiri hingga sekarang.   
Radar Cianjur mempunyai jaringan informasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Berita yang dimuat di Radar Cianjur terdiri dari 70 % berita lokal atau berita daerah dan 30 % berita nasional. Cakupan wilayah kerja Radar Cianjur terdiri dari wilayah Cianjur Utara dan sebagian wilayah Cianjur Tengah. Setiap berita yang akan dimuat di Radar Cianjur terlebih dahulu diinput dalam JPNN (Jawa Post National Network) oleh para wartawan, kemudian Pemimpin Redaksi akan memilih berita-berita yang layak tayang. Radar Cianjur dicetak dan diterbitkan di Bogor (PT. Bogor Media Grafika) kemudian didistrisbusikan ke masing-masing wilayah sebaran koran di Kabupaten Cianjur.
Dalam perkembangan dan perjalan empat tahun Radar Cianjur, selalu dihadapkan pada tantangan dan rintangan. Pada periodesasinya Tagline koran ini memilih jargon berbeda-beda, pada awalnya masih memilih ‘Koranna Urang Cianjur’, kemudian mengalami perubahan lewat rapat redaksi dengan mengambil tema ‘Lebih Cepat dan Berkualitas’. Pada perubahan ini tentunya kuantitas dan kualitas pemberitaan harus semakin meningkat dan proporsional. Redaksi tak lagi berleha-leha dan manajemen pun memicu karyawan lebih baik lagi, pasang surut media lokal pun sangat terasa seiring pertumbuhan media-media lokal yang kian menjamur. Kekuatan personil pun datang dan pergi dengan harapan koran ini lebih baik lagi. Dengan harapan besar media ini akan terus bisa memberikan informasi lebih cepat dan berkualitas hingga pada tujuan akhirnya bisa memenuhi harapan pembacanya. Makna empat tahun bagi Kru Radar Cianjur makna kami harus lebih baik lagi dan memberikan yang terbaik (the best) bagi khalayak banyak..mudah-mudahan semua terwujud,, aminnnn.(*)


)* Penulis adalah Dosen yang juga Manager HRD/Litbang dan Redaktur Radar Cianjur

“Arab Spring”, Peran Ulama-Negara di Indonesia

)*  Nanang Rustandi


ADA yang menarik dari hasil Seminar International yang diselenggarakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Suryakancana (Unsur) Cianjur, Selasa 24 Januari 2017 lalu.
Acara yang digelar di Palace Hotel Cipanas Cianjur ini Panitia Seminar menghadirkan guru besar dan profesor sosial, ekonomi dan politik asal Timur Tengah dan Asia Tenggara, seperti halnya Prof. Dr. Syekh Ameen Al Btoush (Mu'tah University Yordania Timur Tengah), Assoc. Prof. Dr. Khalif Muammar (CASIS UTM Malaysia), dan H. Hendri Tanjung. Ph.D (Universitas Ibn Khaldun Bogor).
Seminar yang dimoderatori Dr.H.Endang Jumali, Lc, MA, M.Si yang juga Dekan FEBI Unsur ini sangat interaktif dan mengundang respon luar biasa atas keingintahuan peserta. Sesuai teman seminar 'The Impact Of Middle East Social Conflict To Economic Stability, Political and Religious in Islamic Countries" (Dampak Konflik Sosial Timur Tengah, Terhadap Stabilitas Ekonomi, Politik dan Keberagamaan di Negara-negara Muslim), semua pembicara menyoroti kondisi umat Islam di dunia Arab dan Asia Tenggara.
Sesuai judul makalah Prof Skeikh Ameen lebih menyoroti “Causes of The Arab Spring, the Impact of Social Conflicts, Migration and Religious in Muslim Countries” (Penyebab Revolusi Arab, Dampak Konflik Sosial, Migrasi dan Agama di Negara-negara Muslim).
Revolusi Arab “Arab Spring" bagi penulis merupakan isu yang kini tengah hangat-hangatnya dibahas oleh para pengamat dunia. Guru Besar Mu’tah University Yordania ini menilai jika umat muslim di dunia ingin kuat dan bersatu, maka harus mengedepankan pendapat dan masukan para alim ulama.
Dia mencontohkan Negara Yordania bisa aman meski berada di sekitaran negara-negara yang tengah dilanda konflik Syria, Iraq, Palestina, Lebanon dan Arab Saudi-Yaman, tetapi negara itu aman. Hal itu tidak lepas dari satu kesatuan antara penguasa dengan rakyatnya, sebaliknya rakyat pun mencintai penguasanya.
Menurutnya, jika umat Islam ingin mewujudkan persatuan dan tidak terpecah belah, maka kunci utamanya yakni harus bersatunya alim ulama dan pemimpin negara. Peran ulama juga bisa dikedepankan dalam kehidupan berbangsa dan beragama, dan akhirnya negara Islam bisa bersatu.
Fenomena tersebut terbalik di Indonesia, pemimpin negara ini sudah banyak tidak mendengarkan lagi pendapat para ulama. Bahkan akhir-akhir ini seperti ada rasa ketakutan dari petinggi negara jika fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene diisi para alim ulama yang tidak diragukan lagi keilmuanya malah dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan negara. Padahal lembaga ini sudah berdiri 40 tahun dan selama ini pula tidak ada gejolak apapun atas keluarnya fatwa-fatwa tersebut.
Bahkan Wakil Ketua DPR-RI, Fahri Hamzah, sempat mengkritik pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian soal Fatwa MUI yang dinilainya berpotensi menimbulkan gangguan keamanan nasional. Menuduh MUI dan para ulama tidak berbhineka sama dengan tidak paham sejarah Indonesia dan tidak paham posisi ulama dalam kemerdekaan. Atas pernyataan tersebut mengindikasikan jika Kapolri tidak mengerti kemerdekaan diraih bangsa ini dalam suasana keagamaan yang kental. Kemerdekaan bangsa Indonesia karena adanya fatwa ulama.
Hal itu tercermin dalam pembukaan UUD 45 sehingga dalam kalimat pembukaan tersebut tertulis "Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa". Ini disadari betul oleh para pendiri bangsa sehingga kalimat tersebut dicantumkan dalam pembukaan UUD 45. Dia pun menyarankan Kapolri dan jajarannya ke depan untuk lebih banyak melakukan konsultasi dengan para ulama sebagai penjaga umat khususnya umat Islam. Hal itu penting dilakukan agar kapolri dan jajarannya tidak punya pandangan dan asumsi sendiri soal ulama.
Negara pun menurutnya bisa mendapatkan pemasukan sekitar Rp700 triliun dari berbagai instrumen keuangan sebagai hasil dari fatwa ulama. Seperti halnya keuntungan dengan fatwa ulama yang dicap halal oleh MUI. (Jawa Pos, edisi Rabu, 18 Januari 2017)
Pendapat ini juga dikuatkan Assoc. Prof. Dr. Khalif Muammar (CASIS UTM Malaysia) lewat tema makalahnya yang berjudul “Economic Situation of Political Stability After The Arabic Spring in Muslim Countries” (Situasi Ekonomi dari Stabilitas Politik Setelah Revolusi di negara-negara Muslim).
Khalif menilai jika sejarah Bangsa Melayu (Indonesia dan Malaysia) mencatat keberadaan ulama sudah ada sejak kedua negara ini belum berdiri. Bahkan bisa dicatat Islam sudah masuk 1.000 tahun lalu dan membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Maka tidak disangsikan lagi peran agama terutama para alim ulama dalam membangun manusia dan peradaban di kawasan Asia Tenggara. 
Para alim ulama selain mendirikan lembaga pendidikan, juga berkiprah membangun ekonomi dan politik. Meski begitu konflik yang terjadi pasti ada dan justru akan menyatukan dan menyebarkan lagi komunitas muslim yang lebih banyak.
Tidak hanya itu, peradaban Asia juga membangun peradaban bukan hanya di barat, tetapi juga di seluruh dunia. Di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia punya peradaban yang luar biasa yang di dalamnya ditopang para alim ulama seperti di Kesultanan Pasir (Sadurangas) Kalimantan Timur, Kesultanan Perlak di Aceh, dan Riau Lingga, semua meninggalkan warisan untuk bekal menghadapi tantangan-tantangan yang besar di masa depan.
Peradaban yang tak kalah penting yakni peradaban Andalusia di Asia tengah yang telah membangunkan peradaban yang besar dan jadi kebanggan umat Islam di seluruh dunia. Peradaban ini sudah jadi acuan bagi perkembangan Eropa. Bagaimana tokoh Islam seperti Ibnu Kholdun  menulis jika semua peristiwa yang kini terjadi harus dijadikan pelajaran (ibroh) untuk ke depan lebih baik lagi.
Meski sejarah perpecahan dan peperangan di Timur Tengah beberapa abad silam itu telah menghancurkan peradaban Andalusia. Ratusan tahun yang lalu dunia Islam juga telah mengalami peristiwa-peristiwa yang semua meninggalkan pelajaran bagi kita semua.
Dalam Welcoming Speech The Rector Unsur Cianjur, Prof. Dr. H. Dwidja Priyatno, SH, MH, S.pN menyampaikan ada perbandingan kondisi politik dan ekonomi negara-negara Islam dengan beberapa kasus yang saat ini sedang ditemui di Indonesia.
Dikatakan dia, permasalahan yang terjadi di dunia khususnya Amerika, berimbas pada kegiatan ekonomi dan politik di dunia apalagi bagi negara Islam. Apalagi, jika merujuk kepada negara yang berada di Timur Tengah. Sebab negara yang ada di Timur Tengah semuanya bergejolak. Nah, justru itu kenapa kita pilih Jordania di saat negara tetangganya sedang konflik, negara itu masih adem ayem.(*)


)* Penulis adalah Jurnalis dan Staf Pengajar FEBI Unsur, Kini Tengah Studi S3 di SPS UIN SGD Bandung.

SOAL UTS KEWIRAUSAHAAN II SMT VII

UJIAN TENGAH SEMESTER (U T S) FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM (F EB I) UNIVERSITAS SURYAKANCANA TAHUN AKADEMIK 20 22 -202 3   Mata...