Oleh : Nanang Rustandi[1]
PASCA
keran kebebasan di era demokrasi dibuka tahun 1998, berbagai sarana
komunikasi media bermunculan bak jamur di pagi hari. Hampir semua orang
ingin membuat perusahaan media, baik penyiaran televisi, radio maupun
koran atau majalah. Orang bisa membuat koran tanpa harus menempuh
perizinan berbelit seperti pada era orde baru Surat Izin Usaha
Penerbitan (SIUP). Dengan bermodalkan keberanian dan dana yang cukup
siapapun bisa membuat koran, apalagi Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers (UU Pers) mengisyaratkan bahwa pendirian sebuah penerbitan
tanpa harus ada SIUP. Maka tak heran pasca UU tersebut diundangkan lebih
dari 1.000 surat kabar, baik nasional, wilayah maupun lokal
bermunculan. Namun dalam perjalanannya, tidak semua perusahaan
penerbitan tersebut bisa bertahan, hampir setiap hari penerbitan silih
berganti pulang dan datang. Dibalik kebebasan penerbitan itu pula
berimbas pada kualitas dan kuantitas seorang penulis (journalis),
termasuk organisasi wadah berkumpul para wartawan pun bermunculan
(diluar PWI, AJI, dan IJTI). Sama halnya dengan perusahaan penerbitan
keberadaan wartawanpun sangat beragam, bahkan saking banyak wartawan
setiap narasumber tak bisa membandingkan mana wartawan yang biasa
menulis dan memiliki media eksis serta manapula yang tidak, bahkan ada
kesan setiap wartawan sama. Karena saking banyak serta sulit membedakan
akhirnya nama wartawan dimata masyarakat kebanyakan sama, bisa menulis
dan mengobok-obok berbagai persoalan, baik sosial, ekonomi, hukum,
pendidikan, pemerintahan termasuk soal korupsi. Wartawan pun disegani,
meski ada pula yang memanfaatkan kehebatan wartawan dengan cara memeras
yang ujung-ujungnya duit (UUD). Pada akhirnya masyarakat pun mencap,
bahwa setiap wartawan suka memeras, kondisi ini jadi fenomena miris dan
menyedihkan. Padahal secara umum hampir di setiap lembaga maupun
perusahaan ‘oknum’ pasti ada. Berbagai label nama pada wartawanpun
muncul seperti wartawan tanpa surat kabar (WTS), Bodrek, Bodong dan
sebutan lainnya.
Menyikapi kebebasan pers pada era demokrasi, saya
juga mengambil catatan mantan Ketua PWI Periode 1998-2003 dan 2003-2008
Tarman Azzam. Menurutnya, dalam dunia pers di Indonesia muncul sikap
arogansi sebagai komunitas pers yang benar-benar terkesan betapa sangat
bebasnya pers Indonesia, melebihi kebebasan pers liberal di Amerika
sekalipun. Kebebasan pers di Indonesia kiranya melebihi kabebasan pers
di Eropa Barat, Australia, Jepang dan sebagainya. Begitu bebas dan
merdeka pers kita hingga muncullah media massa, terutama pada lingkungan
media cetak, yang tidak jelas status perusahaan, alamat maupun
pengasuhnya isinya kadang, bahkan, hanya berisi fitnah, balas dendam,
pornografi serta sekedar memenuhi kepentingan sesaat politik maupun
ekonomi, sehingga menuai tudingan kepada pers Indonesia sebagai pers
kabablasan.
Pada perjalanannya kondisi tersebut sangat berimbas
pada fungsi dan tugas pokok jurnalis seperti yang tertuang dalam Kode
Etik Jurnalistik (KEJ). Wartawan pun seolah sudah jauh keluar dari
aturan yang dimilikinya, meski tak semua seperti itu. KEJ sendiri
mengisyaratkan bahwa dalam menjalankan tugas jurnalistiknya wartawan
dilarang memeras, menulis tendensius, menuruti emosi penulis (pendapat
pribadi wartawan), selalu melakukan check and recheck, asas praduga tak
bersalah, mencantumkan cover the said (tidak sepihak), memberikan hak
jawab. Pada KEJ Pasal 4 juga tercantum bahwa wartawan Indonesia tidak
membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Maka kalau semua
tahapan itu dilakukan, nilai berita akan sangat berbobot dan tak akan
merugikan narasumber, apalagi berujung pada proses hukum yang akan
sangat merugikan. Pemberitaan yang diharapkan terutama sikap-sikap
kritis terhadap institusi baik pemerintahan maupun lembaga manapun akan
berjalan tanpa harus ada rasa takut, kontrol sosial akan sangat berarti,
peduli pada kaum miskin, pengawasan pada penyaluran program-program
pemerintah harus terus dilakukan. Tulisan kritis konstruktif itu pun
dijamin oleh UU Pers yaitu sebagai kemerdekaan dan kebebasan pers
seperti tertuang dalam Pasal 2 UU No 40 tahun 1999, yaitu “Kemerdekaan
pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
Fungsi
Pers sendiri sesuai UU tersebut ada enam diantaranya, memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi,
mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta
menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan
informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum, memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Maka pendek kata,
seiring dengan bertumbuhnya demokrasi di Indonesia, pers harus mampu
mempergunakan ruang kemerdekaan dan kebebasannya yang dijamin oleh hukum
(undang-undang) dengan mengimplementasikan perannya tersebut. Dengan
demikian, pers pun dapat menjadi watch dog atau pemberi
peringatan dini terhadap penyelenggaraan negara. Dan disinilah kemudian
semakin terasa betapa pentingnya arti kemerdekaan dan kebebasan pers
itu.
-------------------------------
)*
Tulisan ini disampaikan pada Diskusi Publik Jurnalistik “Menyikapi
Peran Fungsi Jurnalis Di Masa Demokrasi” yang diselenggarakan oleh Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Suryakancana
Cianjur, Rabu 26 Oktober 2011.
[1] Penulis adalah wartawan Harian Pagi Radar Cianjur (Jawa Pos Grup) yang juga Inisiator Cianjur Social Responbility (CSR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar